Permasalahan Tanah Dua Pihak Bertahan Pada Dokumen Resmi, BPN Lakukan Pengembalian Batas

Masohi – Poslintastimur.com – 13 Agustus 2025 , ” Permasalahan lahan di belakang Pasar Binaiya, Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah, kembali memasuki babak penting setelah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Maluku Tengah melakukan pengukuran lapangan untuk pengembalian batas pada Kamis, 7 Agustus 2025.

Kegiatan ini dihadiri langsung oleh perwakilan Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) dan pemilik tanah Sertifikat Hak Milik No.42 Tahun 1983 beserta kuasa hukum, dan tim BPN.

Pernyataan & Fakta dari Pemilik Tanah dengan SHM Tahun 1983

Kuasa hukum pemilik tanah SHM No.42 Tahun 1983, Alexius Anaktototy, S.H., M.H., menjelaskan bahwa kliennya memegang Sertifikat Hak Milik Nomor 42 Tahun 1983 dengan Surat Ukur (SU) Tahun 1981 seluas 1.470 m² yang diatasnya telah diterbitkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 79 Tahun 2012 atas nama GPM yang kini menjadi permasalahan.

Menurutnya, penerbitan Sertifikat Hak Pakai Nomor 79 Tahun 2012 atas nama GPM menjadi lemah secara hukum karena Rekomendasi Bupati Maluku Tengah Tahun 1986 tidak menyebutkan batas-batas dan luas lahan secara jelas, sehingga dinilai absurd dan cacat secara formil. Kondisi ini membuka ruang permasalahan yang seharusnya bisa dihindari jika sejak awal dokumen resmi mencantumkan informasi detail.

Alexius juga mengungkapkan bahwa lahan milik kliennya saat ini disewakan oleh GPM kepada para pedagang dengan tarif Rp.15.000 per m2 per bulan. Namun, ia menilai praktik ini pun mengandung masalah dari sisi peruntukan lahan, karena lahan itu diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan kegiatan keagamaan bukan untuk kepentingan bisnis.

Ia menegaskan, Rekomendasi Bupati Maluku Tengah Tahun 1986 secara tegas menyebutkan peruntukannya untuk kepentingan umum, yakni pembangunan Gedung Serbaguna, namun yang terjadi justru lahan tersebut disewakan kepada pihak ketiga untuk kepentingan komersial. Menurutnya, hal ini sudah tidak sesuai dengan tujuan awal pemberian hak tersebut.

“Langkah ke pengadilan adalah opsi terakhir. Sampai saat ini kami masih terus berupaya agar ada negosiasi. Kami menghormati GPM sebagai lembaga keagamaan, tetapi di sisi lain kami juga menyayangkan sikap GPM yang seolah tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang ada,” tegas Alexius.

“Seharusnya, GPM sebagai lembaga keagamaan yang menaungi umat atau jemaatnya dapat memberikan solusi melalui jalur damai. Namun, yang terjadi justru kami diminta langsung menempuh jalur hukum, padahal ruang mediasi masih terbuka.”

Alexius menegaskan bahwa pihaknya tetap mengedepankan itikad baik untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.

Pernyataan & Fakta dari Pihak Sinode GPM

Ketua Klasis GPM Masohi, Pdt. Adriana Lohy, S.Th., menegaskan bahwa lahan yang menjadi permasalahan merupakan aset resmi berdasarkan Rekomendasi dari Bupati Maluku Tengah, Sugiarto, tertanggal 23 Mei 1986. Rekomendasi tersebut menyetujui permohonan Badan Majelis Jemaat GPM Masohi untuk membangun Gedung Serbaguna guna kepentingan umum.

Berdasarkan Rekomendasi itu, BPN menerbitkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 79 atas nama GPM yang kemudian dipergunakan untuk membangun Gedung Serbaguna Angkatan Muda.

Meski Rekomendasi Bupati tidak mencantumkan luas dan batas-batas tanah secara rinci, Pdt. Lohy menegaskan bahwa sertifikat yang diterbitkan BPN adalah sah secara hukum.

“Bila ada pihak yang keberatan, protes seharusnya dialamatkan kepada pemerintah sebagai pihak yang memberikan rekomendasi yang dipergunakan untuk mengurus Sertifikat Hak Pakai No.79 tahun 2012, bukan ke GPM,” ujarnya.

Kuasa hukum Sinode GPM, Vembriano Lesnussa, S.H., M.H., menambahkan bahwa pengembalian batas diminta karena adanya klaim sepihak. Menurutnya, tanah tersebut merupakan aset mutlak MPH Sinode GPM, sehingga kejelasan batas dan kepemilikan perlu dipastikan secara teknis dan legal.

Kegiatan Pengembalian Batas di Lokasi oleh BPN

Kegiatan Pengembalian Batas di Lokasi oleh BPN pada pengukuran lapangan 7 Agustus 2025, Tim BPN melakukan pendataan koordinat dan batas fisik tanah berdasarkan dokumen kedua pihak. Proses ini disaksikan langsung oleh Sinode GPM, MPK Masohi, Ketua Majelis Jemaat GPM Masohi yang ada di sekitar lokasi, pemilik tanah SHM No.42 Tahun 1983, serta kuasa hukum masing-masing, beserta insan Pers

Kepala Seksi Survei dan Pemetaan BPN Maluku Tengah, Joseph Labery, S.SiT., M.H., menjelaskan bahwa hasil pengukuran akan diolah di kantor BPN dan dipresentasikan kepada para pihak. Setelah itu, akan ada pertemuan lanjutan untuk membahas kemungkinan solusi dan negosiasi damai.

Upaya Mediasi Sebelumnya

Permasalahan ini bukan tanpa upaya penyelesaian damai. Berdasarkan catatan, mediasi sudah dilakukan sebanyak empat kali:
1. Satu kali pada Juli 2024,
2. Satu kali pada Agustus 2024,
3. Satu kali pada September 2024
3. Satu kali lagi setelah pengukuran pada 7 Agustus 2025 di kantor BPN, namun kembali buntu.

Pertemuan awal di Sinode GPM memutuskan bahwa persoalan akan dibawa ke Sidang MPH Sinode di Rumaholat pada Februari 2025. Sidang tersebut menyarankan agar pemilik tanah menempuh jalur hukum jika tetap merasa berhak. Sudah empat kali kedua belah pihak ada dalam mediasi namun belum juga mendapatkan titik temu dan negosiasi damai.

Meski begitu, pihak pemilik tanah menilai mediasi seharusnya tidak berhenti di situ, karena hubungan antara kedua pihak tidak hanya bersifat legal, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan religius. Mengingat Sinode GPM merupakan Lembaga Besar Keagamaan di Maluku yang harus mengutamakan Hukum Kasih

Asal Usul Tanah & Tumpang Tindih Sertifikat

Masalah semakin rumit karena adanya tumpang tindih sertifikat. Pemilik tanah SHM No.42 Tahun 1983 mengklaim bahwa tanah yang dimilikinya berasal dari transaksi jual beli yang sah dengan pemilik awal yaitu mantan Raja Negeri Laimu bermarga Yapono. Lahan itu kemudian dijual kepada Izak Timalatu pada 1991 karena masalah utang-piutang.

Izak sakit dan berobat ke Penang, Malaysia, hingga peristiwa kerusuhan Maluku 1999 membuatnya tidak kembali ke Masohi. Ia meninggal pada 2009 tanpa sempat mengurus kembali lahan tersebut.

Sementara itu, Sertifikat Hak Pakai No. 79 Tahun 20212 atas nama GPM diterbitkan pada 2012 berdasarkan Rekomendasi Bupati Sugiarto pada tahun 1986, meski tidak mencantumkan batas dan luas lahan. Pemilik tanah mempertanyakan apakah BPN telah melakukan pemeriksaan riwayat kepemilikan sebelum menerbitkan sertifikat tersebut.

Jalan Damai Masih Terbuka, Win-win Solution Harus Diutamakan

Kedua pihak sama-sama bertahan pada dokumen resmi masing-masing. Namun, pernyataan yang disampaikan menunjukkan bahwa pintu negosiasi belum sepenuhnya tertutup. Pemilik tanah menilai langkah pengembalian batas oleh BPN adalah sinyal positif, sementara pihak GPM menegaskan keputusan final akan dibahas di Sidang Sinode Oktober 2025.

Publik berharap permasalahan ini dapat diselesaikan melalui win-win solution, bukan hanya lewat jalur hukum. Pendekatan kekeluargaan yang mempertimbangkan sejarah dan hubungan religius kedua pihak serta berpatokan pada Hukum Kasih yang diajarkan dalam Firman Tuhan, dinilai sebagai jalan terbaik untuk mengakhiri permasalahan ini. ( Erol )